BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum
dan kekuasaan merupakan dua hal yang berbeda namun saling mempengaruhi satu
sama lain. Hukum adalah suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku manusia.
Sehingga hukum tidak merujuk pada satu aturan tunggal, tapi bisa disebut
sebagai kesatuan aturan yang membentuk sebuah sistem. Sedangkan kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan perilaku. Bisa
dibayangkan dampak apabila hukum dan kekuasaan saling berpengaruh. Di satu sisi
kekuasaan tanpa ada sistem aturan maka akan terjadi kompetisi seperti halnya
yang terjadi di alam. Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak
melakukan apapun kepada siapa saja. Sedangkan hukum tanpa ada kekuasaan di
belakangnya, maka hukum tersebut akan “mandul” dan tidak bisa diterima dengan
baik oleh masyarakat. Hal ini karena masyarakat tidak memiliki ikatan kewajiban
dengan si pengeluar kebijakan. Sehingga masyarakat berhak melakukan hal-hal
yang di luar hukum yang telah dibuat dan di sisi lain pihak yang mengeluarkan
hukum tidak bisa melakukan paksaan ke masyarakat untuk mematuhi hukum.
Dari
dasar pemikiran diatas maka bisa disimpulkan bahwa antara hukum dan kekuasaan
saling berhubungan dalam bentuk saling berpengaruh satu sama lain. Kekuasaan
perlu sebuah “kemasan” yang bisa memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan
yaitu politik. Yang menjadi permasalahan adalah mana yang menjadi hal yang
mempengaruhi atau yang dipengaruhi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa tidak bisa satu hal saja yang mempengaruhi hal yang dipengaruhi. Antara
hukum dan kekuasaan saling berpengaruh satu sama lain atau bisa disebut saling
melengkapi. Sehingga di satu sisi hukum yang dipengaruhi oleh kekuasaan begitu
sebaliknya. Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa proporsi dari kekuasaan
dalam mempengaruhi hukum lebih berperan atau menyentuh ke ranah substansial
dalam artian hukum dijadikan “kendaraan” untuk melegalkan kebijakan-kebijakan
dari yang berkuasa. Sedangkan hukum dalam mempengaruhi kekuasaan hanya
menyentuh ke ranah-ranah formil yang berarti hanya mengatur bagaimana cara
membagi dan menyelenggarakan kekuasaan seperti yang ada dalam konstitusi.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang hendak di bahas adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian hukum dan kekuasaan ?
2.
Bagaimana hubungan hukum terhadap
kekuasaan ?
3.
Bagaimana fungsi kekuasaan terhadap hukum ?
4.
Bagaimana fungsi hukum terhadap kekuasaan ?
5.
Bagaimana hukum dalam mempengaruhi kekuasaan
?
6.
Bagaimana kekuasaan dalam mempengaruhi hukum
?
7.
Bagaimana hukum dan kekuasaan dalam
perspektif Al-Qur’an ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Hukum
2.
Untuk mengetahui pengertian hukum dan
kekuasaan
3.
Mendeskripsikan hubungan hukum terhadap
kekuasaan
4.
Ingin menjelaskan fungsi kekuasaan terhadap
hukum
5.
Ingin menjelaskan fungsi hukum terhadap
kekuasaan
6.
Untuk menjelaskan bagaimana hukum dan
kekuasaan saling mempengaruhi
7.
Untuk menerangkan hukum dan kekuasaan dalam
perspektif Al-Qur’an
D. Manfaat
Penulisan
Dengan
penulisan makalah ini akan memberi manfaat teoritis maupun praktis. Secara
teoritis bermanfaat begi pengembangan ilmu hukum, khususnya untuk memperluas
pengetahuan dan menambah referensi dalam salah satu kajian ruang lingkup filsafat
hukum. Kemudian manfaat praktis dari penulisan makalah ini adalah untuk memberi
sumbangan pemikiran bagi Penulis dan teman-teman mahasiswa semester VI kelas C2
Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia 2016 secara khusus serta para
pembaca makalah ini pada umumnya sehinggga dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya dalam masyarakat sesuai motto Universitas tercinta yaitu “Berilmu
Amaliah, Beramal Ilmiah, dan Berakhlaqul Karimah” agar fungsinya dalam
masyarakat terlaksana secara profesional, manusiawi, dan berkeadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAN
PEMBAHASAN
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAN
A.
Pengertian Hukum dan Kekuasaan
1.
Pengertian Hukum
Hukum
dalam bahasa Yunani disebut “Ius “, dalam bahasa Inggris disebut “law” dan
dalam bahasa Belanda disebut “recht”.
Selanjutnya,
walaupun hukum itu sulit didefenisikan, namun banyak pakar tetap memberikan
pengertian. Dan sebagai pedoman cukup kiranya memperhatikan pengetian yang
dikemukakan oleh Simorangkir dan Wiryono Sastropronoto, ( 1957 : 6
), Bahwa hukum itu adalah “peraturan--peraturan yang bersifat
memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap
peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukum yaitu dengan hukuman
tertentu”.
Dari
pengertian di atas dapat ditarik beberapa unsur yaitu :
1.
Hukum itu berupa peraturan-peraturan tingkah
laku manusia dalam masyarakat;
2.
Hukum itu bersifat memaksa;
3.
Peraturan-peraturan itu dibuat oleh lembaga
yang berwenang; dan
4.
Peraturan-peraturan
itu mempunyai sanksi atau ancaman hukum.
Dengan
pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa masyarakat bersedia menerima hukum
karena menyadari bahwa kadang kepentingan individual dan atau golongan lebih
dominan sehingga diperlukan adanya tatanan normatif yang dikokohkan dengan
sistem sanksi . Hans Kelsen ( 1973 : 50 ) menyebutkan “ The sanctions of law
have the character of coercive acts in the sense developed above “. Jika
demikian, tatanan itu memaksakan anggota masyarakat yang tidak taat agar
kelangsungan hidup masyarakat dapat dipertahankan .
Mengungkap
makna hakekat dan sifat menurut pandangan aliran filsafat positivisme hukum,
secara harfiah dapat dibedakan bahwa unsur daya paksa itu adalah suatu sifat
hukum sedang hakekat hukum pada dasarnya berpangkal tolak pada hubungan antara
manusia dalam dinamika kehidupan masyarakat, yang berupa sebagai proses sosial
pengaturan cara bertingkah laku. Selain itu hakekat hukum adalah bertumpu pada
ide keadilan dan kekuatan moral .
Ide
keadilan tidak pernah terlepas dari kaitan hukum, ia adalah suatu hakekat dari
hukum. Demikian pula kekuatan moral, adalah unsur hakekat hukum, sebab tanpa
adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi ( imperative mood ) dan
ciri independensinya. Bahkan keadilan ataupun ketidak adilan itu menurut hukum
akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia.
Hal ini melahirkan masalah-masalah yang memerlukan kajian tersendiri.
Hukum
adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi
dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana,
hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di
mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau
kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur
persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristoteles menyatakan bahwa
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan
peraturan tirani yang merajalela.
Para
ahli hukum dalam pandangan mereka mengemukakan tentang hukum berbeda satu sama
lain. Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka
kemukakan. Meskipun ada perbedaan pandangan, namun pengertian itu dapat
diklasifikasikan dalam tiga kelompok.
Pertama,
hukum diartikan sebagai nilai-nilai. Misalnya Viktor Hugo yang mengartikan
hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Grotius mengemukakan bahwa hukum adalah
suatu aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu yang benar.
Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai berarti memahami hukum secara
filosofi karena nilai -nilai merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah
hukum.
Kedua,
hukum diartikan sebagai asas-asas fundamental dalam kehidupan masyarakat
definisi hukum dalam perspektif ini terlihat dalam pandangan Salmond yang
mengatakan “hukum merupakan kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh
negara di dalam peradilan”
Ketiga,
hukum diartikan sebagai kaidah atau aturan tingkah laku dalam kehidupan
masyarakat. Vinogradoff mengartikan hukum sebagai seperangkat aturan yang
diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati kebijakan
dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama
dikemukakan oleh Kantorowich, yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu
kumpulan aturan sosial yang mengatur perilaku lahir dan berdasarkan pertimbangan
2.
Pengertian Kekuasaan
Pengertian
kekuasaan dalam bahasa Belanda disebut “Macht“, dalam bahasa Inggris
disebut “Otoritie“.
Menurut
pandangan politik, kekuasaan adalah merupakan hakekat dari suatu politik karena
proses politik tidak lain adalah serangkaian peristiwa yang hubungannya satu
sama lain didasarkan atas kekuasaan, seperti yang dinyatakan oleh Joseph Roucek
(Cheppy Haricahyono, 1986; 186 ) “ ... the central problem of politics is thet
of the distinction and control of power. Politics is the quest for power and
political relationships are power relationships, actual or potential “.
Selanjutnya,
menurut Meriam Budiardjo ( 1982 :10) kekuasaan adalah “Kemampuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan pelaku. “
Pengertian
kekuasaan diatas, kendati bermakna sosiologis namun secara realistis
mengingatkan bahwa manusia hidup pada dasarnya mempunyai berbagai keinginan dan
tujuan yang hendak diraih. Dalam konteks ini , demikian pula yang terjadi pada
kekuasaan yang dimiliki oleh negara , tidak terbatas pada kehidupan dibidang politik
semata, tetapi dibidan hukum pun kekuasaan senantiasa seiring dan bergandengan
.
Agar
kekuasaan itu kokoh, memerlukan legitimasi, dalam hal ini terutama legitimasi
etis. Etika politik menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku (
legalitas ) perlu disahkan secara demokratis ( legitimasi demokratis ) dan
tidak bertentangan dengan perinsip-perinsip moral ( legitimasi moral).
kesemuanya itu merupakan tuntutan yang dapat disebut legitimasi normatif atau
etis, karena berdasarkan keyakinan bahwa suatu kekuasaan hanya sah secara etis
manakala sesuai dengan tuntutan legitimasi tersebut.
Apabila
legilitas kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku, maka hukum mempunyai wewenang tertinggi dan
penguasa berada dibawa hukum. Lili Rasyidi ( 1985 : 56 ) menyatakan :
“Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya
kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat. Maksudnya.
hukum harus menjaga kekuasaan agar tidak merusak sifat dasar harkat dan
martabat kodrati manusia. “
Adapun
sifat kekuasaan menurut G.J. Wolhoof ( 1955 : 210 ) terdiri dari 3 macam yaitu
:
1.
Tindakan mengatur (regeling) yang bersifat
menetapkan aturan umum;
2.
Tindakan mengurus (bestuur) yang bersifat
mengambil tindakan khusus yang mengenai peristiwa kongkrit yang ditujukan buat
pribadi khusus;
3.
Tindakan mengadili (recht praak) yang
bersifat mengambil keputusan khusus untuk mengakhiri persengketaan hukum antara
dua pihak.
Kekuasaan
adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan
kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak
boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang
atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai
dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002) atau Kekuasaan merupakan
kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan
kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam
pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja,
kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan
memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat
dan cara yang tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yang
memerintah dan ada yang diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus
objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan)
tetapi juga harus tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).
Menurut
Lasswell dan Kaplan kekuasaan adalah hubungan atau relasi antara seseorang atau
kelompok terhadap kelompok lainnya dimana salah satu individu atau kelompok
mampu mendeterminasi pengaruh yang lain. Van Doorn menyatakan bahwa kekuasaan
adalah kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laku orang-orang
atau kelompok-kelompok lain sesuai dengan tujuan-tujuan seseorang atau suatu
kelompok. Valkenvurgh menambahkah kekuasaan adalah suatu hubungan yang
melahirkan kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laku dari orang
atau kelompok yang lain.
Kekuasaan
dalam beberapa definisi tersebut di atas hanya diartikan sebagai suatu
‘pembatasan’ dan tidak perluasan alternatif-alternatif tingkah laku atau
perilaku politik. Definisi lain yang sebenarnya juga tidak komprehensif
diutarakan oleh Parsons dan Deutch yang menganggap kekuasaan sebagai alat
tukar-menukar dan alat pembayaran yang unggul di dalam politik. Menurut
pandangan ini, seorang politisi memperoleh kekuasaan dalam bentuk dukungan dari
para konstituen dan memberi kekuasaan dalam bentuk keputusan-keputusan
kebijaksanaan. Penggunaan kekuasaan yang efektif dan efisien seringkali
dinamakan penguasaan (control).
Penggunaan
kekuasaan adalah salah satu sarana yang paling banyak digunakan dan yang paling
bervariasi dalam politik. Apabila tujuan utama suatu kebijaksanaan politik
adalah memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, maka kita sebenarnya
membicarakan politik kekuasaan. Namun, terlalu menyamaratakan atau
menyederhanakan bila kita menganggap bahwa semua politik adalah politik
kekuasaan. Kekuasaan kadang-kadang bukan menjadi tujuan, tetapi sarana atau
tujuan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kekuasaan juga dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai
dengan tujuan-tujuan seseorang atau kelompok yang menjadi aktor.
Kekuasaan
dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan dalam dua kelompok,
yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan Negara berkaitan
dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan
damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan
kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial
dapat berjalan secara lancar. Ketidakseimbangandiantara keduanya akan mendorong
terjadinya kekuasaan hegemonikdimana negara sangat kuat dan masyarakat sangat
lemah, sehingga tercipta pola hubungan dominatif dan eksploitatif. Hal ini
mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan
dan kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan masyarakat
yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya. Selain kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain dan penetapan alternatif-alternatif bertindak,
kekuasaan juga mengandung makna sarana pelaksanaan fungsi-fungsi dalam
masyarakat dan atas nama masyarakat. Pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat
mencakup pelaksanaan fungsi politik, pelaksanaan fungsi ekonomi, pelaksanaan
fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan fungsi hukum dan pemerintahan, dan
pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya. Pelaksanaan fungsi itu bertujuan untuk
memperlancar interaksi sosial dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat.
B. Hubungan
Hukum dengan Kekuasaan
Pola
hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam.
Pertama,
hukum adalah kekuasaan itu sendiri, Menurut Lassalle, konstitusi sesuatu negara
bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”,
melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara” Pendapat
Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan. Dari sudut kekuasaan,
aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan
deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan
hubungan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian,
aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan
deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara.
Hakekat
hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercrona tak lain daripada
“kekuatan yang terorganisasi”, hukum adalah “seperangkat aturan mengenai
penggunaan kekuatan”, dia mengingatkan “kekerasan fisik atau pemaksaan” sebagai
demikian sama sekali tidak berbeda dari kekerasan yang dilakukan
pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh. Walaupun kekuasaan itu adalah hukum,
namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Van Apeldorn mengemukakan bahwa
hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini berarti bahwa hukum tidak lain daripada
kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak semuanya
hukum. “Mightis not right” pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya akan
tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu.
Kedua,
adalah bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya hukum dan kekuasaan
merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang erat diantara keduanya.
Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal
balik)
Menurut
Mahmud MD, hubungan kausalitas antara antara hukum dan politik atau tentang
pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang
mempengaruhi hukum maka ada 3 macam penjelasannya.
Pertama,
hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur
oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas
hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik
dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun
hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua
kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Mereka
yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis
berpegang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam
segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan
politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan)
atau para penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum
sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam perbuatannya, tetapi juga
dalam kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam
kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik
dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih
jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa
lembaga legislatif yang menetapkan produk hukum.
Selanjutnya,
hukum dalam kaitannya dengan kekuasaan ada dua sisi yang harus dibedakan yakni
hukum obyektif, adalah merupakan kekuasaan yang mengatur dan hukum subyektif
adalah merupakan kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif . Karena itu dapat
dikatakan bahwa pada satu sisi hukum adalah kekuasaan, tetapi pada sisi lain
kekuasaan itu belum tentu hukum. Hukum baru dapat bergerak apabila disertai
dengan kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan Harun Utuh (1998:118)
“Hukum dapat bergerak karena kekuasaan (power). Kekuasaan bisa bergerak karena
kekuatan (force). Tetapi kekuasaan dan kekuatan harus diatur dan berdasarkan
hukum. Perwujudan hukum dalam sebuah negara adalah undang-undang dan kebiasaan
serta sumber hukum lainnya. Perwujudan kekuasaan adalah pemerintah atau
penguasa. dan perwujudan kekuatan adalah angkatan bersenjata”.
Dari
pendapat di atas, jelas menunjukkan bahwa hukum membutuhkan adanya kekuasaan,
tetapi hukum itu tidak akan membiarkan suatu kekuasaan menungganginya. Sering
terjadi komplik antara keduanya disebabkan kekuasaan dalam berbagai bentuknya
tidak menerima pembatasan-pembatasan, bahkan terlalu jauh mengintervensi hukum
baik dalam perwujudannya maupun dalam pelaksanaan atau penegakannya..
Yang
ideal dalam hal ini , justru hukum harus bekerja memberikan
patokan-patokan tingkah laku berupa pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan
disamping menyalurkan atau memberiakan kekuasaan kepada orang-orang tertentu.
Satjipto Rahardjo ( 1996 : 148 ) dalam hal ini menyatakan :”Hukum itu
merupakan sumber kekuasaan, oleh karena dialah kekuasaan itu dibagi-bagikan
dalam masyarakat. “
Pertalian
antara hukum dan kekuasaan itu sangat erat, hukum memerlukan kekuasaan dan
sebaliknya kekuasaan memerlukan pengaturan dari hukum . Sudikno Mertokusumo
(1991 :20 ) menyatakan “ Hukum ada karena kekuasaan yang sah kekuasaan
yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan
kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum .Jadi hukum bersumber pada
kekuasaan yang sah “
Tanpa
adanya kekuasaan, maka pelaksanaan hukum dimasyarakat akan mengalami hambatan.
Lagi pula suatu masyarakat dapat dikatakan tertib manakala masyarakat itu telah
memiliki kesadaran hukum, dalam hal ini sangat terkait bagaimana kekuasaan itu
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Suatu
kenyataan dalam masyarakat, wibawa negara (kekuasaan) dapat
dipermasalahkan oleh rakyatnya, jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang
sangat mendasar terhadap tata hukum yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat, dalam keadaan demikian ternyata hukum mengendalikan
segala perintah dari negara sehingga suatu kekuasaan yang dibangun merupakan
wibawa
Sebaliknya,
kekuasaan yang menggunakan kekerasan semata--mata ternyata tidak sanggup
bertahan lama, karena ketaatan yang ada berganti dengan perlawanan terhadap
wibawa dan kekuasaan negara. Oleh karena itu diciptakan pertalian
antara hukum dan kekuasaan yang kondusip yaitu sesuai dengan kesadaran
dan kultur masyarakat serta berorientasi pada antisipasi masa depan yang
dicita-citakan.
C. Fungsi
Kekuasaan terhadap Hukum
Kekuasaan
merupakan sarana untuk membentuk hukum, khususnya pembentukan undang-undang
(lawmaking). Kekuasaan untuk membentuk hukum dinamakan kekuasaan legislatif
(legislatif power), yang merupakan kekuasaan parlemen atau badan perwakilan.
Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang berasal dari
pemikiran John Locke dan Montesquieu.
Dalam
praktek ketatanegaraan di berbagai negara, terdapat konvergensi kekuasaan
pembentukan undang-undang. Pembentukan undang-undang tidak lagi menjadi
monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen dan pemerintah. kekuasaan
merupakan alat untuk menegakkan hukum. Penegakan hukum adalah suatu proses
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai
keinginan-keinginan hukum adalah di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.
Kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya menjalankan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan badan peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten. Otoritas eksekusi merupakan kewenangan kejaksaan dan pengadilan.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya menjalankan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan badan peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten. Otoritas eksekusi merupakan kewenangan kejaksaan dan pengadilan.
D. Fungsi
hukum terhadap Kekuasaan
Hukum
adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan
berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Setiap kekuasaan
yang memiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas. Namun yang
sering menjadi masalah adalah bila kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan
yang sewenang-wenang, tidak patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya merupakan
masalah legitimasi kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan
kekuasaan.
Hukum
adalah instrumen untuk mengatur kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam
penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan
kekacauan di antara kekuasaan-kekuasaan negara yang ada atau antara kekuasaan
pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya kekuasaan
yang paradoks bukan hanya akan menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan
pertanggungjawabannya, tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan
ketidakpastian hukum. Hukum adalah alat untuk membatasi kekuasaan.Pembatasan
kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan atau sentralisasi
kekuasaan pada satu tangan atau pada satu lembaga.
E. Hukum
dalam Mempengaruhi Kekuasaan
Kekuasaan
tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba
yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah hukum
berperan dalam membentuk rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di lingkaran
kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui di konstitusi dimana konstitusi secara
garis besar berisi tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan
kekuasaan dan mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Peran hukum dalam mengatur
kekuasaan berada dalam lingkup formil.
Kekuasaan
yang diatur hukum merupakan untuk kepentingan masyarakat luas agar masyarakat
yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain
sebagai kepentingan masyarakat, hukum dalam mempengaruhi kekuasaan juga berguna
sebagai aturan bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan.
Aturan tersebut berguna sebagai cara main yangfairyang bisa mengkordinir semua
pihak yang terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur
masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
F. Kekuasaan
dalam Mempengaruhi Hukum
Eksistensi
hukum tanpa ada kekuasaan yang melatarbelakanginya membuat hukum menjadi
mandul. Oleh karena itu perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum.
Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang
bisa dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur
masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode
konseptual bukan empiris karena secara empiris kebanyakan hukum hanya digunakan
untuk melegalkan kepentingan penguasa saja.
Secara
konseptual, kekuasaan yang dimiliki oleh sebagian pihak berangkat dari rasa
tidak nyaman masyarakat terhadap keadaan-keadaan yang dianggap bisa menggoyahkan
kestabilan masyarakat. Hal ini sama saja baik dalam masyarakat yang liberal
ataupun sosialis. Masyarakat tersebut sepakat untuk memberikan mandat kepada
sekelompok orang untuk berkuasa dan memiliki kewenangan untuk mengatur mereka
agar tetap tercipta kestabilan sosial. Kewenangan untuk mengatur masyarakat
dari penguasa itulah terletak hukum.
Dalam
perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa
memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari
karakteristik hukum yang menjadi produk politiknya. Karakteristik hukum
ternyata berjalan linier dengan karakteristik rezim kekuasaan yang
melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya demokratis, maka produk hukumnya
berkarakter responsif sedangkan apabila kekuasaannya otoriter, maka
produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks.
Namun
ada asumsi bahwa antara demokrasi dan otoriter ambigu. Artinya tidak bisa
dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu
negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif
digunakan untuk melindungi masyarakat. Dalam hal ini demokratis yang “dari,
untuk, dan oleh rakyat” mengalami pengurangan peran hanya “untuk
rakyat” sehingga rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya.
G. Hukum
dan Kekuasaan dalam Perspektif Al-Qur’an
Islam
sebagai agama yang sempurna menggunakan Al-qur’an sebagai pedoman yang di
dalamnya mengatur segala hal. Hukum dan kekuasaan juga termuat dalam Kitab yang
paling agung ini. Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan
tentang makna yang hakiki dari hukum dan kekuasaan dalam semua sisinya tetap
menjadi wacana aktual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena
keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu
sendiri. Selain itu, konsep hukum dan kekuasaan serta hubungan keduanya masih
banyak kalangan yang menganggap hukum dan kekuasaan itu sebagai sesuatu yang
jelek dan harus dihindari, hukum dianggap mengekang masyarakat dan kekuasaan
terutama kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya, muslihat, dan
kelicikan.
Sebagai
wacana dan upaya mendudukan istilah hukum dan kekuasaan pada posisi yang baik,
pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan,
terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep hukum dan kekuasaan dalam
perspektif Al-Qur’an.
Allah
SWT berfirman dalam Surah An-Nisa : 58-59
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan
(memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.(58). Wahai
orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah rasul (Muhammad), dan
ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(59).”
Kedua
ayat di atas tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip–prinsip pokok
yang menghimpun ajaran Islam tentang hukum dan kekuasaan dalam pengertian
tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah SWT. Hal ini menandakan
bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui
konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul
Islam.
Dari
Surah An-Nisa ayat 58 pelajaran yang dapat dipetik:
1.
Setiap amanah memiliki pemiliknya
yang harus diserahkan kepadanya. Penyerahan amanah sosial seperti pemerintahan
dan pengadilan kepada orang orang yang bukan ahlinya adalah tidak sejalan
dengan iman.
2.
Bukan hanya hakim yang harus adil,
tapi semua orang mukmin haruslah memelihara keadilan dalam segala
bentuk penanganan masalah keluarga dan sosial.
3.
Dalam memelihara amanah dan menjaga keadilan,
haruslah kita tahu bahwa Tuhan sebagai pengawas. Karena Dia Maha Mendengar dan
Maha Melihat.
4.
Manusia memerlukan nasehat dan penasehat yang
terbaik, yaitu adalah Tuhan yang Maha Esa.
Dalam
ayat sebelumnya telah disebutkan bahwa dianjurkan untuk menyerahkan
urusan pemerintahan dan keadilan kepada orang yang layak dan adil.
Ayat ini mengatakan kepada kaum Mukmin, selain taat kepada Tuhan dan
Rasul-Nya, maka haruslah kalian taat kepada para pemimpin (pemegang kekuasaan)
yang adil. Karena ketaatan itu merupakan kelaziman iman kepada Allah Azza wa
Jalla.
Berangkat
dari ada kemungkinan masyarakat akan berselisih menentukan Ulil Amri,
kelanjutan ayat menyatakan, "Dalam keadaan seperti ini, rujuklah kepada
Kitab Allah dan Sunnah Rasul yang merupakan sebaik-baik hukum kalian”. Namun
yang jelas, ketaatan kepada Ulil Amri (pemegang kekuasaan) dan Rasul SAW adalah
dalam rangka ketaatan kepada Tuhan. Perkara ini tidak bertentangan dengan
tauhid. Karena kita menaati Nabi dan Ulil Amri atas perintah Allah juga.
Dari
Surah An-Nisa ayat 59 pelajaran yang dapat dipetik ialah:
1.
Ketaatan kepada Rasul dan Ulil Amri dalam
ayat ini bersifat mutlak.
2.
Rasul memiliki dua kedudukan.
Pertama, menjelaskan
hukum-hukum Tuhan dan menunaikan risalahNya. Kedua, mengelola urusan masyarakat
dan menjelaskan peraturan-peraturan pemerintahan berdasarkan kebutuhan.
3.
Jalan yang terbaik menyelesaikan perselisihan
mazhab Islam adalah merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul yang
diterima oleh semua orang.
4.
Masyarakat Islam (Mukmin) haruslah menerima
pemerintahan Islam dan mendukung para pimpinan yang adil.
Tujuan
utama Negara, sebagai institusi siyasah, adalah mewujudkan pelaksanaan
kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut
menuntut konsistensi terhadap syariat-Nya yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya
hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi pada pemeliharaan
kemashlahatan (kebaikan umum) dan penolakan kemafsadatan (kerusakan). Syari’at
Islam bertujuan menegakkan kebaikan semua makhluk dan memberikan kemashlahatan
bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di dunia ataupun di akherat. Al-Ghazali
menegaskan, “Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang
tidak ada penjaganya akan hancur”. Aktualisasi nilai-nilai Islam dapat
terlaksana dengan sempurna apabila kaum muslimin memiliki otoritas dan
kekuasaan untuk mewujudkan kemashlahatan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
kehidupan masyarakat kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum karena
kekuasaan bukan hanya merupakan instrumen pembentukan hukum (law making), tapi
juga instrumen penegakan hukum (law enforcement). Kekuasaan sering bersumber
pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan
kepada seseorang atau pihak dalam suatu bidang tertentu. Dalam hal demikian
dapat dikatakan, bahwa kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang.
Mengingat
bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi penataan ketentuannya, maka hukum
memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain
akan menjadi kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Hukum memerlukan
kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan oleh
batas-batasnya oleh hukum.
Ada
tiga bentuk manifestasi hubungan hukum dengan kekuasaan dalam konteks ini
: Pertama, hukum tunduk kepada kekuasaan. Maksudnya, hukum
bukan hanya menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi alat
kekuasaan, dengan kata lain, kekuasaan memiliki supremasi terhadap hukum. Oleh
karena itu, definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli menempatkan hukum
berada di bawah kontrol kekuasaan. Kedua, kekuasaan tunduk
kepada hukum. Artinya, kekuasaan berada dibawah hukum dan hukum yang menentukan
eksistensi kekuasaan. Dalam pikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum
merupakan konsep dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep itu
dirumuskan dalam terminology supremasi hukum (supreme of law). Ketiga, ada
hubungan timbal balik (simbiotik) antara hukum dan kekuasaan. Dalam hal ini
hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat dominative dimana yang satu dominan
atau menjadi faktor determinan terhadap yang lain, tapi hubungan pengaruh
mempengaruhi yang bersifat fungsional, artinya hubungan itu dilihat dari sudut
fungsi-fungsi tertentu dan dapat dijalankan di antara keduanya. Demikian,
kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai fungsi
terhadap kekuasaan.
Sebagai
slogan dan closing statement adalah bahwa “Hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman”. Dan dalam falsafah Islami
hukum terbaik adalah hukum dari Allah, serta kekuasaan tertinggi (disebut
kedaulatan) itu di tangan Allah.
B. Saran
Kebenaran
yang objektif dan hakiki mengenai Hubungan Hukum dengan Kekuasaan tidaklah
mudah diraih sedangkan Penulis dan makalah kami ini diakui keterbatasannya,
maka disarankan perlu belajar lagi secara berkesinambungan serta terus menerus
berpikir dan zikir yang konsiten dengan lurus berdasarkan sumber-sumber ilmu
yang shahih dan otentik. Kemudian sebagai mahasiswa Fakultas Hukum yang
beragama Islam maka sudah sepatutnya mencari, mempelajari, mengkaji, menemukan,
dan memahami Ilmu Hukum secara umum dan Filsafat Hukum secara khusus tidak
hanya dari dan berdasarkan buku dan pendapat para ahli tetapi juga dan memang
seharusnya menggunakan rujukan dari ulama dan pemikir atau cendikiawan Muslim
dan Kitab Suci kita, yakni Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
·
Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., SH. 2010.
Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah. Bandung. PT Refika
Aditama.
·
Cheche, Wardah. 2014.
http://wardahcheche.blogspot.co.id. Hubungan Hukum dan Kekuasaan. 12 April
2016, 00:47 WITA.
·
Zainuddin, Ansar. 2016.
http://ansarbinbarani.blogspot.co.id. Hukum dan Kekuasaan. 13 April 2016, 16:01
WITA.
·
Maher Wijaya, Pamela.
https://agendapamel.wordpress.com. Kekuasaan Politik Perspektif Al-Qur’an. 13
April 2016, 16:03 WITA.
·
Indonesia, IRIB. http://indonesian.irib.ir.
Tafsir Al-qur’an, Surah An-Nisaa Ayat 58-59. 13 April 2016, 16:07 WITA.