Syaikh Al-Utsaimin ditanya tentang bagaimana hukum mempelajari bahasa Inggris pada masa sekarang ini?
Beliau rahimahullah menjawab:
Jika engkau membutuhkan maka mempelajarinya adalah suatu alat sebagai
sarana berdakwah kepada Allah. Bisa jadi mempelajari bahasa Inggris
hukumnya wajib, namun jika engkau tidak membutuhkan janganlah engkau
menyibukkan waktumu dengan hal itu.
Sibukkanlah dengan hal yang lebih penting dan bermanfaat. Tingkat
kepentingan masyarakat mempelajari bahasa Inggris berbeda-beda. Nabi
pernah memerintah Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi [1]. Jadi
mempelajari bahasa Inggris merupakan alat saja. Sekiranya engkau
membutuhkan maka engkau bisa mempelajari, jika tidak maka janganlah
menyia-nyiakan waktumu untuk mempelajarinya.
Syaikh Al-Utsaimin ghafarallahu lahu juga ditanya: Bagaimana
pendapat anda tentang seorang penuntut ilmu yang mempelajari bahasa
Inggris, terlebih lagi bahasa itu nantinya digunakan untuk berdakwah di
jalan Allah?
Beliau rahimahullah menjawab:
Kami menilai bahwa mempelajari bahasa Inggris, tidak diragukan lagi,
merupakan sebuah alat (saja). Suatu alat disebut baik jika memiliki
tujuan-tujuan yang baik dan menjadi buruk jika memiliki tujuan-tujuan
yang buruk (pula). Tetapi sesuatu yang wajib untuk dijauhi adalah jika
engkau menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu alternatif daqi bahasa
Arab, maka ini sungguh tidak boleh. Kami mendengar ada sebagian orang
bodoh berbincang-bincang dengan bahasa Inggris sebagai alternatif
penggati bahasa Arab.
Sampai-sampai ada orang bodoh yang mengalami kerugian yang saya
anggap mereka ini sebagai pengekor orang lain, mereka mengajari cara
salam non muslim pada anak-anak mereka. Mereka mengajari anak-anak
mereka untuk mengucapkan bay bay ketika hendak berpisag atau istilah
lain yang serupa dengan itu. Karena upaya penggantian bahasa Arab
-bahasa Al-Qur’an dan merupakan bahasa termulia- dengan bahasa Inggris,
haram hukumnya.
Namun jika bahasa Inggris ini digunakan sebagai sarana (alat) untuk
berdakwah maka tidak diragukan lagi bahwa penggunaan bahasa ini
terkadang hukumnya menjadi wajib. Saya belum pernah mempelajari bahasa
Inggris dan saya dulu berharap ingin mempelajarinya.
Terkadang saya benar-benar (sangat) membutuhkannya, sebab seorang
penerjemah tidak mungkin dapat mengungkapkan secara sempurna apa yang
tersirat di dalam benakku. Akan saya tuturkan sebuah kisah yang terjadi
di masjid bandara di kota Jeddah dengan beberapa personil dari Kantor
Bimbingan Islam, kami berbicara selepas shalat Shubuh tentang kelompok
Tijaniyah (Ahmadiyah) bahwa aliran ini adalah aliran yang batil dan
mengingkari agama Islam dan saya pun berbicara tentang kelompok ini
sesuai dengan apa yang saya ketahui. Lalu datanglah seorang lelaki
kepadaku, dia berkata, “Saya memohon anda mengijinkan saya untuk
menerjemahkannya ke dalam bahasa Al-Husa.” Maka saya katakan, “Tidak
mengapa.” Dia pun menerjemahkannya. Kemudian datang seorang lelaki
dengan tergopoh-gopoh, ia mengatakan, “Orang yang menerjemahkan
ceramahmu ini memuji kelompok Tijaniyah.”
Maka saya pun tercengang dan saya mengucapkan Innalillahi wa inna
ilaihi raji’un. Sekiranya saya mengetahui semisal bahasa ini, tentunya
saya tidak butuh para penipu itu. Walhasil, mengenali bahasa orang yang
engkau ajak bicara, tidak diragukan lagi, adalah perkara yang penting
sehingga dapat menyampaikan pengetahuan-pengetahuan (pesan-pesan) kepada
orang yang bersangkutan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka.” (Ibrahim : 4)
Sumber: Tuntunan Ulama Salaf dalam Menuntut Ilmu
Syar’i karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin (penerjemah: Abu
Abdillah Salim bin Subaid), penerbit: Pustaka Sumayyah, hal. 136 dan
154-155.
____________________
[1] Redaksi haditsnya: Dari Kharijah -yakni Ibnu Zaid bin Tsabit-
berkata: “Zaid bin Tsabit (yakni ayahnya) berkata: “Rasulullah
menyuruhku untuk mempelajari kitab orang Yahudi. Zaid bin Tsabit
berkata: “Demi Allah, sesungguhnya tidaklah beriman orang Yahudi itu
kepada kitab (Al-Qur’an) kemudian aku mempelajarinya (kitab Yahudi)
tidak terlewatkan dariku melainkan selama setengah bulan aku selalu
bermuka masam. Aku menulis kitab itu apabila dia menulis, dan aku
membacanya apabila ditulis atasnya.” Hadits ini dikeluarkan oleh Abu
Dawud dalam Kitabul Ilmi Bab Riwayatu Haditsi Ahli Kitab, Imam Ahmad juz
5 hal. 186, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz I hal. 75 seraya berkata:
“Hadits ini shahih.” Dan Adz-Dzahabi menyepakatinya.
Hadits ini diletakkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya pada Kitabul Ahkam
Bab: Turjamatul Hukkam wa Hal Yajuzu Turjamani Wahidin dengan perkataan:
“Kharijah Ibnu Zaid Ibnu Tsabit berkata dari Zaid bin Tsabit berkata:
“Nabi menyuruhku mempelajari kitab orang Yahudi hingga aku menulisnya
apa yang dia (orang Yahudi) tulis dan aku membaca kitab-kitab mereka
apabila mereka menulisnya.” Dan lihat Al-Ishabah juz I hal. 543.
Hukum Mempelajari Bahasa Inggris
Enter your email address to get update from Syawaluddin Nainggolan.
Print
PDF