Selamat Datang Di Blog Syawaluddin Nainggolan
Terima kasih atas kunjungan Anda di blog Syawaluddin Nainggolan,
semoga apa yang saya share di sini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang bisa berguna untuk orang banyak.

MAKALAH BAHASA HUKUM DI INDONESIA




Bab I Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.  Alasan yang mendukung pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagailingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi  bahasa negara, bagi hampir  sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku sekolah.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang hukum sampai saat ini masih jauh dari harapan. Bahasa Indonesia yang dituangkan dalam peraturan perundangan dan berbagai putusan di bidang hukum kerap mengundang multitafsir dan tak lugas. Hal itu terjadi karena para pembuat aturan dan penegak hukum tak menguasai bahasa Indonesia secara baik. Di samping itu, minimnya padanan kosakata bahasa Indonesia membuat berbagai dokumen hukum yang ada masih menggunakan bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Belanda. Untuk itu, para pakar bahasa Indonesia dan pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk merumuskan bahasa hukum yang baku, lugas, singkat, modern, dan mudah dicerna secara jelas, tegas dan tepat.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dalam ilmu hukum pidana dan perdata
b.      Apa fungsi bahasa Indonesia dalam ilmu hukum ?
3.      Tujuan dan Tujuan
a.       Untuk mengetahui penggunaan bahasa yang baik dalam ilmu hukum
b.      Untuk mengetahui fungsi bahasa dalam ilmu hukum


Bab II Landasan teori

1. Sejarah Mulanya Bahasa Hukum Di Indonesia
Bahasa Indonesia di bidang hukum masih jauh dari harapan. Hal ini tidak memungkiri bahwa hal tersebut dilatarbelakangi sejarah panjang hukum Indonesia yang mengadopsi hukum Belanda, yang tak lepas dari sistem hukum Romawi. Akibatnya, muncul istilah-istilah hukum yang tidak ditemukan dalam kosakata bahasa Indonesia. Istilah register dalam pidana kehutanan, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Demikian juga dengan kata merampas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam bahasa Belanda, merampas artinya merampok. Tetapi apa bisa dikatakan bahwa negara adalah perampok saat hukum menentukan barang bukti dirampas untuk negara?
Belum lagi istilah bahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang muncul mengikuti perkembangan zaman. Istilah whistle blower yang muncul dalam kasus mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji. ”Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti whistle blower adalah meniup peluit. Tetapi dalam hukum, tidak ada istilah begitu. Apa meniup peluit bisa dipenjara? Jadi banyak istilah hukum asing yang tidak bisa diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut Frans Hendra Winarta, penggunaan bahasa Indonesia di bidang hukum masih harus diperbaiki dan disempurnakan lagi. Kebanyakan bahasa hukum baku masih menggunakan istilah asing yang diambil dari bahasa Belanda dan Inggris. Penyebabnya, istilah hukum yang menggunakan kata-kata asing sering kali tidak ada atau sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Sementara, penggunaan kata-kata bahasa Indonesia dalam bahasa hukum juga sering kali tidak tegas dan multitafsir. Akibatnya, dalam praktik kerap terjadi ketidakpastian dan perbedaan penafsiran yang memunculkan polemik hukum.





Bab III Pembahasan

1.     Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya
Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).
a. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
b. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta gayanya.
c. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat estetika.
d. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan komposisi kalimat.
Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti terdapat dalam  konstatasi keempat di atas, yang  tercermin dalam penulisan dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini 1999:1—2). Di samping itu,  ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman) karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b) dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). Banyak istilah asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit (lihat Mahadi 1979).

Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah khusus hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau samar-samar; (d) menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam akta notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat perjanjian, akta notaris, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, sulit dipahami masyarakat awam. Oleh karena itu bahasa yang dipelajari yang dipakai dalam ilmu pengetahuan:

1.      Lugas dan eksat unuk menghindari ketak samaan dan ketak samara
2.      Objektif dan menekankan perasangka pribadi
3.   Memberikan definisi yang cermat tentang sifat dan kategori yang diselidikinya untuk    menghindari kesimpang siuran
4.      Tidak beremosi dan menghindari tafsiran yng beresensi.
5.  Cenderung membakukan makna, kata-katanya, ungkapannya, gayanya, paparannya berdasarkan konfersi.
6.       Tidak dogmatis atau fanaticàberkembang terus
7.       Bercorak hemat, hanya data yang diperlukan dipakai
8.       Bentuk makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil, lebih dimiliki dari pada kata biasa.

Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan karakteristik bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi, dan gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301). Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum sendiri masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat Murniah 2007). Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan pula oleh Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum yang berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen HKI, surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.  
Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah 2007). Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974 waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum yang  memahami ketentuan perundang-undangan yang menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki keterampilan dan pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar


2.      Bahasa Hukum
Bahasa Hukum merupakan bahasa yang mempunyai khas tersendiri yang memeliki dunia tersendiri dalam sistem penulisannya walaupun tidak diatur dalam bentuk baku, bahasa hukum merupakan suatu bentuk penulisan yang berdasarkan suatu kebiasaan yang terus menerus di pergunakan oleh orang yang berkecimpung dalam bidang hukum. Kita sama-sama ketahui terkadang bahasa hukum hanya dapat di mengerti oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia hukum dan orang-orang awan hanya mengikut dengan kata lain seolah-olah mengerti. Sementara yang kita ketahui bahwa bahasa merupakan salah satu sarana untuk berkomunikasi dan Bahasa sebagaimana yang kita pahami adalah merupakan hal yang bersifat universal. Karena dengan bahasa seseorang dapat mengutarakan keinginannya. Begitu juga pada aktivitas sosial yang kita lakukan baik pada lingkungan kerja maupun lingkungan tempat tinggal. Begitupun dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tentunya bukan hanya pembuatnya saja yang mengerti akan isinya tetapi juga masyarakat sepatutnya harus memahami, sementara dalam sistem penulisan bahasa hukum terkadang membingungkan masyarakat awam.
Menurut Julianto asis, SH (Mahasiswa Pasca Sarjana UMI:Ilmu Hukum), bahwa bahasa dalam hukum harus dipahami sebagai media pengantar manusia untuk memperoleh hak-hak hukumnya. Jika bahasa yang digunakan dalam hukum tidak relevan atau sangat sulit dipahami oleh masyarakat awam, maka bagaimana kemudian rasa keadilan dapat tercapai dengan kualitas komunikasi subjek hukumnya yang begitu dangkal. Jangan menyalahkan manusia, tetapi memang bahasa yang digunakan dalam hukum terkadang membingungkan dan bersifat ekslusif seperti yang dikatakan oleh Todung Mulya Lubis.
Bahasa Indonesia dalam penerapan hukum hanya merupakan formalitas belaka. Semua kecakapan kata akan kelihatan jika seseorang sudah bersentuhan langsung dengan aparat penegak hukum.
Pada kenyataannya bahwa masyarakat yang ada tinggal ditempat yang berbeda dengan latar belakang suku dan bahasa yang berbeda pula. Dan secara otomatis bahasa pergaulan yang digunakan dalam komunitas masyarakat tidak secara keseluruhan disadur dari bahasa Indonesia. Jika didapati dalam realitas masyarakat terjadi perseteruan akibat ketersinggungan kata-kata ataupun bahasa yang digunakan, lantas bagaimana konsekuensi hukumnya. Apakah bahasa daerah dengan dialek tersendirinya dapat dimaknai sebagai sebuah perbuatan yang formal dan dapat disentuh dalam KUHP.
Contoh dalam Rapat PANSUS CENTURY pada saat mantan wakil presiden Bapak Jusuf Kalla untuk dimintai keterangan. Yang mana salah satu anggota pansus yakni Ruhut Sitompul memanggil Bapak Jusuf Kalla dengan sebutan “daeng”. Ungkapan ruhut tersebut memancing emosi anggota pansus yang lain, yang kebetulan berasal dari daerah yang sama Bapak Jusuf Kalla. Di sisi Ruhut menganggap bahwa sapaan daeng tersebut adalah suatu keakraban, sementara di sisi lain ada pihak yang menganggap bahwa ini adalah ucapan yang seakan meremehkan.

3.      Makna Bahasa Hukum Yang Ambigu
Selain bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, bahasa Indonesia mutlak diajarkan di fakultas hukum, terutama pada jurusan yang mencetak legal drafter. Jika seorang sarjana hukum memiliki penguasaan. bahasa Indonesia maupun bahasa asing yang baik, tingkat pemahaman dan kompetensi pengetahuan hukumnya pasti lebih baik, agar pengajaran bahasa Indonesia bukan melulu pada struktur bahasa, tetapi juga makna yang sesuai konteks. Contohnya penggunaan kata ulang. Dalam struktur bahasa Indonesia, kata berulang diartikan dilakukan beberapa kali. Namun dalam bahasa hukum, belum tentu diartikan begitu, bergantung pada kalimatnya.
Memang bahasa Indonesia diperlukan mahasiswa fakultas hukum. Tapi bukan mempelajari bagaimana struktur kalimat, seperti zaman sekolah dulu, melainkan membahas bagaimana memaknai bahasa hukum. Memahami hukum bukan hanya dengan membaca undang-undang, melainkan memaknainya secara hukum pula.
Jika semua pihak, baik pemerintah, DPR, akademisi, praktisi hukum, maupun masyarakat, mau terus bekerja keras, bukan tidak mungkin semua bahasa hukum yang digunakan sehari-hari nantinya hanya mengacu dan berlandaskan pada bahasa Indonesia saja. Dengan demikian, bahasa hukum mudah dimengerti dan masyarakat juga menjadi melek hukum.

4.      Fungsi Bahasa dalam Ilmu Hukum
Bahasa dipergunakan atas dasar berbagai macam alasan, tujuan, maupun sasaran. Oleh karenanya, bahasa dalam konteks logika hukum memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai berikut :
a. Fungsi Informatif
Bahasa digunakan sebagai sarana untuk membawa sebuah informasi. Dalam
Fungsi ini bahasa yang dipergunakan biasanya berbentuk deklaratif, misalnya Bahasa Ilmiah.
b. Fungsi Praktis
Bahasa dipergunakan dengan maksud untuk menghasilkan efek tertentu. Fungsi ini juga disebut fungsi dinamis dan dalam fungsi ini bahasa dipergunakan dalam bentuk pernyataan Imperatif, misalnya perintah, seruan, intruksi, permohonan.
c. Fungsi Ekspresif
Bahasa dipergunakan baik untuk menyatakan perasaan seseorang maupun untuk memberikan tanggapan yang sifatnya emosional. Bahasa jenis ini biasanya berbentuk pernyataan eksklamatoris, humor ataupun cetusan-cetusan sebagaimana terdapat dalam puisi.


d. Fungsi Perfermatif
Bahasa tidak hanya dipergunakan semata-mata untuk mengatakan sesuatu melainkan sekaligus juga untuk menunjukkan realisasi apa yang dikatakan tersebut.sebagai contoh, rektor dalam Sidang Senat Terbuka berkata, “ Dengan ini Sidang Senat Terbuka Universitas Suryakancana dinyatakan dibuka, ” sambil memukulkan palu tiga kali.
e. Fungsi Seremonial
Bahasa dipergunakan dalam pergaulan sosial sehari-hari, persahabatan, perkerabatan, maupun keramah-tamahan dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dalam fungsi ini bahasa dapat memperluas hubungan manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bentuknya misalnya sapaan dan teguran ramah.
f. Fungsi Logis
Bahasa dipergunakan untuk membuat penalaran, analisis, penjelasan, serta penyelesaian masalah atau argumen. Bahasa dalam fungsi ini dipergunakan untuk melakukan pembuktian benar salahnya sebuah pernyataan atau keputusan. Misalnya dalam putusan hakim dalam sidang.

Bab IV penutup
1.      Kesimpulan
Bahasa adalah alat komunikasi yang universal adanya, terlepas dari beragamnya bahasa yang ada di dunia ini. Perlu disadari juga bahwa setiap disiplin ilmu juga mempunyai bahasa yang lazimnya tidak sesuai dengan kaidah gramatikal yang sesuai dengan bahasa yang baik dan mudah dimengerti. Di bidang hukum misalnya, bahasa yang digunakan oleh praktisi hukum tentunya bahasa yang hanya dimengerti oleh kalangan-kalangan hukum, dan masyarakat awam merasa asing.
2.      Saran
Saya menyarankan agar ahli hukum adalah juga memerhatkan bahasa Indonesia nya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, tentunya penggunaan bahasa hukum yang tepat dan baik adalah salah satu dari factor tegaknya hukum agar tidak menimbulkaan makna yang ambigudan tidak jelas. Itulah mengapa mata kuliah bahasa Indonesia itu perlu dipelajari kembali oleh seorang mahasiswa.







Daftar Pustaka

Heriyadi, Wahyu .2015.Bahasa dan Hukum.Ciamis:Kentja press

http://www.atmajaya.ac.id/web/KontenUnit.aspx?gid=artikel-hki&ou=hki&cid=artikel-hki-bahasa-hukum-indonesia

https://www.academia.edu/6693317/Makalah_BAHASA_INDONESIA_DALAM_HUKUM?

https://herygaara5.wordpress.com/2011/04/13/penggunaan-bahasa-hukum-dalam-bahasa-indonesia



Enter your email address to get update from Syawaluddin Nainggolan.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

Copyright © 2013. Artikel Bagus - All Rights Reserved | Template Created by Syawaluddin Nainggolan Proudly powered by Syawaluddin