Selamat Datang Di Blog Syawaluddin Nainggolan
Terima kasih atas kunjungan Anda di blog Syawaluddin Nainggolan,
semoga apa yang saya share di sini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang bisa berguna untuk orang banyak.

MAKALAH LINTAS BUDAYA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat tidak pernah lepas dari kebudayaan. Kebudayaan menempatkan posisi sentral didalam kehidupan masyarakat tersebut. karena budaya berfungsi bagi masyarakat sebagai transmisi budaya, pengembang kehidupan ekonomi, pelanjut keturunan, keagamaan, pengendali sosial, dan rekreasi. Selain budaya berfungsi bagi masyarakat, budaya berpengaruh pula terhadap cara berpikir, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak individu, kelompok sehingga kebudayaan sangat mewarnai kehidupan individu atau kelompok masyarakat.
            Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ( IPTEK), beberapa para ahli mencoba meneliti berbagai bentuk atau ragam budaya yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian mereka dari kajian lintas budaya di temukan dua jenis budaya didalam masyarakat. Budaya tersebut dibedakan dengan sebutan etik (etics) ialah budya bersifat universal, dan emik (emics) ialah kekhasan dari budaya setempat. Selain perbedaan budaya tersebut didalam psikologi lintas budaya menemukan juga cara yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk melihat budaya lain yang disebut etnosentrisme.
            Berdasarkan kajian-kajian psikologi lintas budaya tersebut penulis tertarik untuk mencoba menjelaskan secara terperinci tentang etik, emik, dan etnosentrisme. Oleh karenanya didalam pembahasan makalah ini akan memuat pembahasan tentang etik, emik, dan etnosentrisme.

B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud etik (etics) dan emik (emics)?
2.       Apa yang dimaksud dengan etnosentrisme?
3.      Bagaimana implikasi etik, emik dan etnosentrisme dalam proses konseling individual/ kelompok?

C. TUJUAN
            Untuk memenuhi tugas dari matakuliah bimbingan dan konseling lintas budaya serta mengetahui dan memahami apa itu etik, emik dalam konseling lintas budaya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIK DAN EMIK
            Kehidupan masyarakat tidaklah pernah dapat dihindari keyataan bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak. Budaya dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia. Shiraf dan Levi (dalam buku Sarlita W. Sarwono) mengemukan sebuah defenisi budaya ialah suatu set dari sikap, perilaku, dan simbol-simbol yang dimilki bersam oleh manusia dan biasanya dikomikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
            Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa didalam masyarakat sebuah budaya menempatkan posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Budaya dalam kehidupan individu atau kelompok membuat suatu perbedaan antara sekelompok orang dengan kelompok lain. Didalam penelitian para ahli dalam psikologi lintas budaya di kemukakan ada dua jenis ragam budaya yang ada dalam masyarakat yaitu etik dan emik.
            Salah satu cara utama mengkoseptualisasikan prinsip-prinsip serta perbedaan budaya, dapat dilakukan melalui penggunaan istilak etik (etic) dan emik (emics). Kedua istilah ini mengacu pada keunikan yang bersifat universal dan kekhasan budaya, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hal ini etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten tetap diberbagai budaya ; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada sebuah kebenaran atau prinsip –prinsip yang universal. Emik sebaliknya mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (cultur specific).
            Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran yang bersifat khas budaya. Etik dan emik merupakan konsep-konsep yang kuat (power full). Kalau kita tahu sesuatu tantang perilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (universal) maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah kebenaran bagi semua orang dari budaya lain. Kalau yang kita ketahui tentang perilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenara itu ternyata adalah suatu emik (bersifat khas budaya), maka apa yang kita angggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Bahkan kebenaran itu bisa sangat berbeda, kebenaran dalam hal ini adalah hal yang relative. Defenisi kebenaran yang memperhitungkan etik dan emik ini memaksa kita semua untuk mempertimbangkan kebenaran hal-hal yang kita yakini.
            Etik dan Emik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri, sebaliknya Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan fenomena dalam masyarakat.
            Secara sederhana, berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang defenisi Etik dan Emik. Etik adalah suatu kebenaran yang diakui, diterima oleh seluruh masyarakat tanpa memandang perbedaan budaya, dengan kata lain kebenaran yang dimaksud berlaku untuk semua orang (bersifat universal). Sebaliknya, Emik adalah suatu kebenaran yang hanya diterima dan di akui oleh masyarakat setemapat dan tidak berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Emik dalam hal ini menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
            Secara umum, sebagian besar ahli psikologi lintas budaya, sepakat bahwa jumlah etik dan emik sama, atau bahkan lebih banyak emik dari pada etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda memang menemukan cara-cara yang berbeda dalam kebanyakan aspek perilaku manusia. Kalau dipikirkan hal ini tidaklah mengejutkan. Setiap budaya berevolusi dengan cara khasnya masing-masing untuk menangani perilakun manusia dengan gaya yang paling efisien dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara ini akan berbeda tergantug  kepadatan penduduk, ketersediaan makanan, dan sumber-sumber lain. Karena pasti menghadap kebutuhan yang berbeda dengan lingkunganya, setiap kebudayaan akan mengembangkan perbedaan-perbedan yang kemudian berdampak kepada orang-orang yang berada didalam budaya tersebut.
Adanya emik atau perbedaan cultural, bukan sesuatu yang problematic dalam diri individu/ kelompok masyarakat. Namun permasalahnya secara potensial akan muncul ketika kita mencoba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang menyebabkan adanya bebagai perbedaan itu. Karena kita berada dlam budaya kita masing-masing, dengan latar belakang kultur kita sendiri, kita cenderung melihat sesuatu dari kacamata latar belakng tersebut. dengan kata lain, budaya bertindak sebagai suatu filter (penyaring), tidak hanya ketika kita memperesepsikan seseorang, tetapi juga ketika kita berpikir tentang menafsirkan suatu kejadian . kita bisa menafsirkan perilaku orang lain dari latar belakang cultural kita sendiri dan menarik beberapa kesimpulan tentang perilaku tersebut berdasarkan keyakinan kita tentang perilaku dan budaya kita sendiri. Tetapi penafsiran kita bisa salah bila perilaku yang sedang kita nilai berasal dari suatu orientasi cultural yang berbeda dari budaya kita.

B. ETNOSENTRISME DALAM KEHIDUPAN BUDAYA
            Dalam menjalani kehidupan individu atau kelompok masyarakat sering memeberikan persepsi, penilaian/penafsiran terhadap sesuatu hal tanpa mempertimbangkan Etik dan Emik. Cara atau proses yang dilakukan individu atau kelompok tersebut ialah Etnosentrisme. Sebagaiman Matsumoto dan Julang, 2004 (dalam buku Sarlit W. Sarwono) mengemukakan defenisi dari etnosentrisme adalah kecenderungan  untuk melihat dunia melalui kacamata budaya sendiri.
            Selain dari pendapat Masumoto & Juang 2004, Mulyana :2000,70 (http ://xihuanpsichology.blongspot.com) etnosentrisme adalah cara memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayang sendiri.
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme, kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainya merupakan budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung membatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin kita terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Dalam hala ini etnosentrisme bukanlah merupakan sesuatu yang baik, ia hanya mencerminkan kondisi dimana setiap orang memiliki budaya sebagai penyaring (filter) dalam menilai orang lain.
            Selanjutnnya, etnosentrisme dapat menimbulkan prasangka. Prasangka adalah sikap yang tidak menguntungkan, baik bagi individu, golongan, atau kelompok lain karena didasarkan pada pandangan yang belum terbukti kebenaranya (Meinaro dkk, 2011 (dalam buku Sarlito W. Sarwono). Prasangka terdiri dari dua jenis yaitu : prasangka eksplisit dan prasangka implicit. Prasangka eksplisit adalah prasangka yang diutarakan secara terbuka terhadap publik. Sedangkan prasangka implicit adalh prasangka yang merupakan prasangka yang merupakan bagian dari nilai, kepercayaan atau sikap masyarakat.
Matumoto & Juang, 2004 (dalam buku Sarlito W. Sarwono) berpendapat bahwa prasangka berasal dari ketidakmampuan individu menyadari keterbatasan dalam berpikir secara etnosentrisme. Beberapa tokoh lain juga mengeluarkan pendapat mengenai penyebab prasangka. Misalnya, Van dan Berghe 1981 (dalam buku Sarlito W. Sarwono) yang mengeluarkan teori sosial biologi dan evolusi unnutk menjelaskan mengenai prasangka. Terjadinya prasangka juga dianggap disebabkan oleh konflik kekuasaan antar kelompok. Duckih, 1992; Healey, 1999 (dalam buku Sarlito W. Sarwono).
            Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prasangka merupakan sesuatu tanggapan akan sesuatu yang tidak terbuktik/ belum pasti. Dalam hal ini prasangka di timbulkan oleh beberapa factor yaitu, perbedaan budaya, status sosial/ ekonomi, dan keyakinan.

C. PENGARUH ETIK, EMIK, DAN ETNOSENTRISME DALAM PROSES KONSELING
            Proses kegiatan konseling merupakan kegiatan yang sangat penting bagi kehidupan individu/ kelompok dalam kehidupan masyarakat dalam hal menangani bebagai kesulitan yang dihadapi dalam menjalani kehidupan. Kegiatan konseling pada umumnya melibatkan antar konselor dank lien, dalam hal ini konselor dan klien memiliki perbedaan-perbedaan khusunya dalam kebiasaan/ budaya.
            Berdasarkan konselor dan klien khusunya dalam segi latar belakang budaya, maka kegiatan konseling juga disebut juga disebut sebagai konseling lintas budaya. Menurut Burn, konseling lintas budaya adalah proses konseling individual yang melibatkan konselor dank lien yang berlatar belakang budaya yang berbeda.
            Apabila dalam kegiatan konseling juga mempermasalahkan tentang latarbelakang konselor dank lien yang tidak lain ialah budaya, maka dalam proses tersebut pula harus mempertimbangkan bahwa dalam kehidupan bebudaya terdapat Etik dan Emik.
Etik dan Emik sangat perlu dipahami terutama konselor, dimana Eti dan Emik sangat berpengaruh dalam proses konseling dimana dalam proses konseling apabila seorang konselor memahami betul tentang Etik, Emik, maka dalam prosesnya pun perbedaan dari klien dapat dianggap sebagai keunikan klien tersebut sehingga proses konseling dapat mencapai tujuanya secara optimal yaitu menangani masalah klien serta meberikan solusi masalah tersebut. sebaiknya apabila seorang kenselor melakukan kegiatan konseling tanpa mempertimbangkan Etik, Emik. Maka konselor dapat menerima klien dengan menggunakan etnosentrisme. Dalam hal ini perbedaan klien dianggap sebagai tindakan yang salah bila konselor menggunakan etnosentri maka sudah pasti klien merasa enggan dan tidak nyaman sehingga penciptaan suasan yang harmonis dalam proses konseling hanya sebagai angan-angan saja. Dan juga proses konseling tidak akan pernah mencapai tujuanya secara optimal.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam pembahasan makalah ini, ada beberapa kesimpulanya adalah sebagai berikut :
1.      Etik adalah pandangan indvidu atau kelompok masyarakat dalam penerimaan kebenaran, keyakinan yang bersifat universal.
2.      Emik adalah suatu kebenaran, keyakinan, pandangan individu yang dapat diterima oleh sejumlah masyarakat yang bersifat khas budaya.
3.      Etnosentrisme adalh kecenderungan individu untuk melihat budaya yang melalui kacamata budaya sendiri.
4.      Etik dan Emik sangat mempengaruhi proses kegiatan konseling, dimana Etik, Emik merupakan factor penentu berhasil tidaknya kegiatan konseling tersebut. apabila konselor tidak mampu memahami etik dan emik maka, konselor akan bersifat etnosentris dalam penerimaan klien sehingga dapat membuat hubungan konseling gagal atau tidak dapat terlaksana.

B. SARAN
















DAFTAR PUSTAKA

Masumoto D. 2004. pengantar psikologi lintas budaya. Pustaka belajar mei 2004
Sarwono W. Sarlito, 2004. Psikologi lintas budaya. Raja grafindo. Persada Jakarta
http ://xihuanpsychology.blogspot.com /2012/10/ pengertian-tujuan-psikologi-lintas-budaya_8.htm Akses 01/04/2016 jan 21.00 wib.


Enter your email address to get update from Syawaluddin Nainggolan.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

Copyright © 2013. Artikel Bagus - All Rights Reserved | Template Created by Syawaluddin Nainggolan Proudly powered by Syawaluddin