BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan masyarakat,
masyarakat tidak pernah lepas dari kebudayaan. Kebudayaan menempatkan posisi
sentral didalam kehidupan masyarakat tersebut. karena budaya berfungsi bagi
masyarakat sebagai transmisi budaya, pengembang kehidupan ekonomi, pelanjut
keturunan, keagamaan, pengendali sosial, dan rekreasi. Selain budaya berfungsi
bagi masyarakat, budaya berpengaruh pula terhadap cara berpikir, ekspresi emosi,
kepribadian, keyakinan, dan kehendak individu, kelompok sehingga kebudayaan
sangat mewarnai kehidupan individu atau kelompok masyarakat.
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi ( IPTEK), beberapa para ahli mencoba meneliti
berbagai bentuk atau ragam budaya yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan hasil
penelitian mereka dari kajian lintas budaya di temukan dua jenis budaya didalam
masyarakat. Budaya tersebut dibedakan dengan sebutan etik (etics) ialah budya
bersifat universal, dan emik (emics) ialah kekhasan dari budaya setempat.
Selain perbedaan budaya tersebut didalam psikologi lintas budaya menemukan juga
cara yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk melihat budaya lain yang
disebut etnosentrisme.
Berdasarkan kajian-kajian psikologi
lintas budaya tersebut penulis tertarik untuk mencoba menjelaskan secara
terperinci tentang etik, emik, dan etnosentrisme. Oleh karenanya didalam
pembahasan makalah ini akan memuat pembahasan tentang etik, emik, dan
etnosentrisme.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud etik (etics) dan
emik (emics)?
2. Apa yang dimaksud dengan etnosentrisme?
3. Bagaimana implikasi etik, emik dan
etnosentrisme dalam proses konseling individual/ kelompok?
C. TUJUAN
Untuk memenuhi tugas dari matakuliah
bimbingan dan konseling lintas budaya serta mengetahui dan memahami apa itu
etik, emik dalam konseling lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ETIK DAN EMIK
Kehidupan masyarakat tidaklah pernah
dapat dihindari keyataan bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi
emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak. Budaya dapat diartikan secara umum
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia. Shiraf dan Levi
(dalam buku Sarlita W. Sarwono) mengemukan sebuah defenisi budaya ialah suatu
set dari sikap, perilaku, dan simbol-simbol yang dimilki bersam oleh manusia
dan biasanya dikomikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Berdasarkan pengertian diatas maka
dapat dikatakan bahwa didalam masyarakat sebuah budaya menempatkan posisi
penting dalam kehidupan masyarakat. Budaya dalam kehidupan individu atau
kelompok membuat suatu perbedaan antara sekelompok orang dengan kelompok lain.
Didalam penelitian para ahli dalam psikologi lintas budaya di kemukakan ada dua
jenis ragam budaya yang ada dalam masyarakat yaitu etik dan emik.
Salah satu cara utama
mengkoseptualisasikan prinsip-prinsip serta perbedaan budaya, dapat dilakukan
melalui penggunaan istilak etik (etic) dan emik (emics). Kedua istilah ini
mengacu pada keunikan yang bersifat universal dan kekhasan budaya, pengetahuan,
dan kebenaran. Dalam hal ini etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak
konsisten tetap diberbagai budaya ; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada
sebuah kebenaran atau prinsip –prinsip yang universal. Emik sebaliknya mengacu
pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan dengan
demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (cultur
specific).
Karena implikasinya pada apa yang
kita ketahui sebagai kebenaran yang bersifat khas budaya. Etik dan emik
merupakan konsep-konsep yang kuat (power full). Kalau kita tahu sesuatu tantang
perilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu
etik (universal) maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah kebenaran
bagi semua orang dari budaya lain. Kalau yang kita ketahui tentang perilaku
manusia dan yang kita anggap sebagai kebenara itu ternyata adalah suatu emik
(bersifat khas budaya), maka apa yang kita angggap kebenaran tersebut belum
tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Bahkan kebenaran itu
bisa sangat berbeda, kebenaran dalam hal ini adalah hal yang relative. Defenisi
kebenaran yang memperhitungkan etik dan emik ini memaksa kita semua untuk
mempertimbangkan kebenaran hal-hal yang kita yakini.
Etik dan Emik adalah dua macam sudut
pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of
view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan
sudut pandang masyarakat itu sendiri, sebaliknya Etik merupakan penggunaan
sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati)
untuk menjelaskan fenomena dalam masyarakat.
Secara sederhana, berdasarkan beberapa
penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang defenisi Etik dan
Emik. Etik adalah suatu kebenaran yang diakui, diterima oleh seluruh masyarakat
tanpa memandang perbedaan budaya, dengan kata lain kebenaran yang dimaksud
berlaku untuk semua orang (bersifat universal). Sebaliknya, Emik adalah suatu
kebenaran yang hanya diterima dan di akui oleh masyarakat setemapat dan tidak
berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Emik dalam hal ini
menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
Secara umum, sebagian besar ahli
psikologi lintas budaya, sepakat bahwa jumlah etik dan emik sama, atau bahkan
lebih banyak emik dari pada etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda
memang menemukan cara-cara yang berbeda dalam kebanyakan aspek perilaku manusia.
Kalau dipikirkan hal ini tidaklah mengejutkan. Setiap budaya berevolusi dengan
cara khasnya masing-masing untuk menangani perilakun manusia dengan gaya yang
paling efisien dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara ini akan
berbeda tergantug kepadatan penduduk,
ketersediaan makanan, dan sumber-sumber lain. Karena pasti menghadap kebutuhan
yang berbeda dengan lingkunganya, setiap kebudayaan akan mengembangkan
perbedaan-perbedan yang kemudian berdampak kepada orang-orang yang berada
didalam budaya tersebut.
Adanya
emik atau perbedaan cultural, bukan sesuatu yang problematic dalam diri
individu/ kelompok masyarakat. Namun permasalahnya secara potensial akan muncul
ketika kita mencoba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang menyebabkan
adanya bebagai perbedaan itu. Karena kita berada dlam budaya kita
masing-masing, dengan latar belakang kultur kita sendiri, kita cenderung
melihat sesuatu dari kacamata latar belakng tersebut. dengan kata lain, budaya
bertindak sebagai suatu filter (penyaring), tidak hanya ketika kita
memperesepsikan seseorang, tetapi juga ketika kita berpikir tentang menafsirkan
suatu kejadian . kita bisa menafsirkan perilaku orang lain dari latar belakang
cultural kita sendiri dan menarik beberapa kesimpulan tentang perilaku tersebut
berdasarkan keyakinan kita tentang perilaku dan budaya kita sendiri. Tetapi
penafsiran kita bisa salah bila perilaku yang sedang kita nilai berasal dari
suatu orientasi cultural yang berbeda dari budaya kita.
B. ETNOSENTRISME DALAM KEHIDUPAN
BUDAYA
Dalam menjalani kehidupan individu
atau kelompok masyarakat sering memeberikan persepsi, penilaian/penafsiran
terhadap sesuatu hal tanpa mempertimbangkan Etik dan Emik. Cara atau proses
yang dilakukan individu atau kelompok tersebut ialah Etnosentrisme. Sebagaiman
Matsumoto dan Julang, 2004 (dalam buku Sarlit W. Sarwono) mengemukakan defenisi
dari etnosentrisme adalah kecenderungan
untuk melihat dunia melalui kacamata budaya sendiri.
Selain dari pendapat Masumoto &
Juang 2004, Mulyana :2000,70 (http ://xihuanpsichology.blongspot.com)
etnosentrisme adalah cara memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan
budayang sendiri.
Jelas
sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme, kita tidak dapat memandang
perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita
hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainya
merupakan budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif
hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung membatasi komunikasi yang kita
lakukan dan sebisa mungkin kita terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau
bertentangan dengan budaya kita. Dalam hala ini etnosentrisme bukanlah
merupakan sesuatu yang baik, ia hanya mencerminkan kondisi dimana setiap orang
memiliki budaya sebagai penyaring (filter) dalam menilai orang lain.
Selanjutnnya, etnosentrisme dapat
menimbulkan prasangka. Prasangka adalah sikap yang tidak menguntungkan, baik
bagi individu, golongan, atau kelompok lain karena didasarkan pada pandangan
yang belum terbukti kebenaranya (Meinaro dkk, 2011 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono). Prasangka terdiri dari dua jenis yaitu : prasangka eksplisit dan
prasangka implicit. Prasangka eksplisit adalah prasangka yang diutarakan secara
terbuka terhadap publik. Sedangkan prasangka implicit adalh prasangka yang
merupakan prasangka yang merupakan bagian dari nilai, kepercayaan atau sikap
masyarakat.
Matumoto
& Juang, 2004 (dalam buku Sarlito W. Sarwono) berpendapat bahwa prasangka
berasal dari ketidakmampuan individu menyadari keterbatasan dalam berpikir
secara etnosentrisme. Beberapa tokoh lain juga mengeluarkan pendapat mengenai
penyebab prasangka. Misalnya, Van dan Berghe 1981 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono) yang mengeluarkan teori sosial biologi dan evolusi unnutk menjelaskan
mengenai prasangka. Terjadinya prasangka juga dianggap disebabkan oleh konflik
kekuasaan antar kelompok. Duckih, 1992; Healey, 1999 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono).
Berdasarkan beberapa pendapat para
ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prasangka merupakan sesuatu
tanggapan akan sesuatu yang tidak terbuktik/ belum pasti. Dalam hal ini
prasangka di timbulkan oleh beberapa factor yaitu, perbedaan budaya, status
sosial/ ekonomi, dan keyakinan.
C. PENGARUH ETIK, EMIK, DAN
ETNOSENTRISME DALAM PROSES KONSELING
Proses kegiatan konseling merupakan
kegiatan yang sangat penting bagi kehidupan individu/ kelompok dalam kehidupan
masyarakat dalam hal menangani bebagai kesulitan yang dihadapi dalam menjalani
kehidupan. Kegiatan konseling pada umumnya melibatkan antar konselor dank lien,
dalam hal ini konselor dan klien memiliki perbedaan-perbedaan khusunya dalam
kebiasaan/ budaya.
Berdasarkan konselor dan klien
khusunya dalam segi latar belakang budaya, maka kegiatan konseling juga disebut
juga disebut sebagai konseling lintas budaya. Menurut Burn, konseling lintas
budaya adalah proses konseling individual yang melibatkan konselor dank lien
yang berlatar belakang budaya yang berbeda.
Apabila dalam kegiatan konseling
juga mempermasalahkan tentang latarbelakang konselor dank lien yang tidak lain
ialah budaya, maka dalam proses tersebut pula harus mempertimbangkan bahwa
dalam kehidupan bebudaya terdapat Etik dan Emik.
Etik
dan Emik sangat perlu dipahami terutama konselor, dimana Eti dan Emik sangat
berpengaruh dalam proses konseling dimana dalam proses konseling apabila
seorang konselor memahami betul tentang Etik, Emik, maka dalam prosesnya pun
perbedaan dari klien dapat dianggap sebagai keunikan klien tersebut sehingga
proses konseling dapat mencapai tujuanya secara optimal yaitu menangani masalah
klien serta meberikan solusi masalah tersebut. sebaiknya apabila seorang
kenselor melakukan kegiatan konseling tanpa mempertimbangkan Etik, Emik. Maka
konselor dapat menerima klien dengan menggunakan etnosentrisme. Dalam hal ini
perbedaan klien dianggap sebagai tindakan yang salah bila konselor menggunakan
etnosentri maka sudah pasti klien merasa enggan dan tidak nyaman sehingga
penciptaan suasan yang harmonis dalam proses konseling hanya sebagai
angan-angan saja. Dan juga proses konseling tidak akan pernah mencapai tujuanya
secara optimal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam pembahasan makalah ini, ada beberapa kesimpulanya
adalah sebagai berikut :
1.
Etik
adalah pandangan indvidu atau kelompok masyarakat dalam penerimaan kebenaran,
keyakinan yang bersifat universal.
2.
Emik
adalah suatu kebenaran, keyakinan, pandangan individu yang dapat diterima oleh
sejumlah masyarakat yang bersifat khas budaya.
3.
Etnosentrisme
adalh kecenderungan individu untuk melihat budaya yang melalui kacamata budaya
sendiri.
4.
Etik
dan Emik sangat mempengaruhi proses kegiatan konseling, dimana Etik, Emik
merupakan factor penentu berhasil tidaknya kegiatan konseling tersebut. apabila
konselor tidak mampu memahami etik dan emik maka, konselor akan bersifat etnosentris
dalam penerimaan klien sehingga dapat membuat hubungan konseling gagal atau
tidak dapat terlaksana.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Masumoto
D. 2004. pengantar psikologi lintas
budaya. Pustaka belajar mei 2004
Sarwono
W. Sarlito, 2004. Psikologi lintas budaya.
Raja grafindo. Persada Jakarta
http
://xihuanpsychology.blogspot.com /2012/10/
pengertian-tujuan-psikologi-lintas-budaya_8.htm Akses 01/04/2016 jan 21.00 wib.